Rabu, 28 Januari 2009

Masalah Budaya

Pendahuluan

Perubahan cepat dalam teknologi informasi telah merubah budaya sebahagian besar masyarakat dunia, terutama yang tinggal di bandar besar. Masyarakat di seluruh dunia telah mampu melakukan transaksi ekonomi dan memperoleh informasi dalam waktu singkat berkat teknologi satelit dan komputer. Kerajaan dan syarikat-syarikat multinasional mampu memperoleh kekuasaan melalui kekuatan militer dan pengaruh ekonomi. Bahkan perusahaan transnasional mampu menghasilkan budaya global melalui pasar komersil global.Perubahan budaya lokal dan sosial akibat revolusi informasi ini tidak dapat dielakkan. Masyarakat bandar yang memiliki akses terhadap informasi merupakan kelompok masyarakat yang langsung terkena pengaruh budaya global. Akses informasi dapat diperoleh melalui media massa cetak maupun elektronik, internet, dan telefon. Masyarakat di bandar dipengaruhi terutama melalui reproduksi ’meme’ yang dilakukan oleh media massa (Chaney, 1996).Dalam konteks Malaysia masyarakat konsumen Malaysia mutakhir tumbuh beriringan dengan sejarah globalisasi ekonomi dan transformasi kapitalisme konsumsi yang ditandai dengan menjamurnya pusat perbelanjaan bergaya seperti pusat membeli belah, industri waktu luang, industri mode atau fesyen, industri kecantikan, industri kuliner, industri nasihat, industri gosip, kawasan mewah, apartemen, iklan barang-barang mewah dan merek asing, makanan segera (fast food), serta reproduksi dan transfer gaya hidup melalui iklan dan media televisyen maupun cetak yang sudah sampai ke ruang-ruang kita yang paling peribadi. Hal ini terjadi di banyak masyarakat bandar besar di Malaysia.

Kebudayaan sebagai makna

Dalam antropologi, budaya ialah pola perilaku dan pemikiran masyarakat yang hidup dalam kelompok sosial belajar, mencipta, dan berbagi (Microsoft Encarta Reference Library, 2005). Budaya membezakan kelompok manusia yang satu dengan yang lainnya. Menurut Ariel Heryanto (2000), kebudayaan bukan dipandang sebagai suatu realiti kebendaan, tapi persepsi, pemahaman atau konsep untuk melihat, menangkap dan mencerna realiti. Kebudayaan ada hanya jika ada kesedaran, konsep, dan bahasa manusia moden untuk melihat keberadaannya. Dengan kesedaran, konsep, dan bahasa tersebut manusia memberikan makna pada dunia yang dilihatnya.Pemaknaan diri sendiri dan dunia di sekelilingnya merupakan perlengkapan mutlak bagi setiap orang untuk menggeluti pelbagai kenyataan di sekitarnya. Namun bentuk dan isi makna-makna ini bukan takdir yang statik dan tidak dapat ditawar-tawar. Bentuk dan isi makna ini dapat berubah sesuai dengan keinginan manusia.

Peranan nalar dalam pemaknaan hidup

Nalar didefinisikan sebagai kemampuan mental yang berguna untuk menyesuaikan pemikiran maupun tindakan dengan tujuan (Brown, 1993). Nalar bekerja dengan kaedah filsafat (penarikan kesimpulan) dan kaedah psikologi (teori kesadaran). Nalar telah mengantarkan manusia ke kedudukan yang tinggi dengan membantunya mengumpulkan pengetahuan.Dapat kita simpulkan bahwa nalar adalah produk biologis- sekadar alat yang menurut kudratnya terbatas kemampuannya (Calne, 2002). Nalar telah meningkatkan mutu cara kita melakukan sesuatu, tetapi nalar tidak mengubah mengapa kita melakukannya. Nalar lebih merupakan fasilitator daripada inisiator. Kita memakai nalar untuk mendapatkan apa yang kita inginkan, bukan menentukan apa yang kita inginkan. Nalar telah melahirkan pengetahuan yang membuat kita mampu terbang keliling dunia kurang dari 2 hari. Walaupun demikian kita melakukan perjalanan kerana maksud dan alasan yang sama dengan yang mendorong leluhur kita dulu bepergian- berdagang, penaklukan, agama, petualangan, atau penindasan.

Gaya hidup mandiri

Dengan gencarnya promosi gaya hidup modern sekarang ini, kita harus mampu mengambil sikap. Perubahan budaya lokal tidak dapat dielakkan, namun kita dapat mengarahkan perubahan tersebut. Corak budaya global yang negatif kita hilangkan, namun yang positif kita ambil.Budaya luar yang baik untuk kita adopsi adalah budaya yang memerdekakan dan membebaskan manusia. Menurut Immanuel Kant, ada dua unsur yang penting dalam manusia merdeka. Pertama, digunakannya akal budi sebagai satu bahagian manusia- nalar yang mampu memecahkan persoalan-persoalan ethis tanpa sama sekali mengacu kepada wujud yang ilahiat. Kedua, ’publik’ sebagai arena. Bagi Kant, ukuran manusia yang dewasa, merdeka, adalah ketika ia mempergunakan nalarnya di arena publik tersebut. Untuk bisa mencapai ke arah sana, diperlukan kemandirian yang bertanggungjawab serta disiplin. Dan nalar menunjukkan bagaimana cara efektif dan efisyen untuk melakukan perubahan tersebut. Kemandirian bererti kita mampu hidup tanpa bergantung mutlak kepada sesuatu yang lain. Untuk itu diperlukan kemampuan untuk mengenali kelebihan dan kekurangan diri sendiri, serta berstrategi dengan kelebihan dan kekurangan tersebut untuk mencapai tujuan. Dan nalar adalah alat untuk menyusun strategi. Bertanggungjawab maksudnya kita melakukan perubahan secara sedar dan memahami betul setiap risiko yang bakal terjadi serta siap menanggung risiko. Dan dengan kedisiplinan akan terbentuk gaya hidup yang mandiri. Dengan gaya hidup mandiri, budaya konsumerisme tidak lagi memenjarakan manusia. Manusia akan bebas dan merdeka untuk menentukan pilihannya secara bertanggungjawab, serta menimbulkan inovasi-inovasi yang kreatif untuk menunjang kemandirian tersebut.
Perubahan sosial merupakan sebahagian dari perubahan budaya. Perubahan dalam kebudayaan mencakup semua bahagian, yang meliputi kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat dan lainnya. Akan tetapi perubahan tersebut tidak mempengaruhi organisasi sosial masyarakatnya. Ruang lingkup perubahan kebudayaan lebih luas dibandingkan perubahan sosial. Namun demikian dalam praktiknya di lapangan kedua jenis perubahan perubahan tersebut sangat sulit untuk dipisahkan (Soekanto, 1990).
Perubahan kebudayaan bertitik tolak dan timbul dari organisasi sosial. Pendapat tersebut dikembalikan pada pengertian masyarakat dan kebudayaan. Masyarakat adalah sistem hubungan dalam erti hubungan antara organisasi dan bukan hubungan antara sel. Kebudayaan mencakup segenap cara berfikir dan bertingkah laku, yang timbul kerana interaksi yang bersifat komunikatif seperti menyampaikan buah pikiran secara simbolik dan bukan warisan kerana keturunan (Davis, 1960). Apabila diambil definisi kebudayaan menurut Taylor (1990), kebudayaan merupakan kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum adat istiadat dan setiap kemampuan serta kebiasaan manusia sebagai warga masyarakat, maka perubahan kebudayaan dalam segala perubahan yang mencakup unsur-unsur tersebut. Soemardjan (1982), mengemukakan bahwa perubahan sosial dan perubahan kebudayaan mempunyai aspek yang sama iaitu keduanya bersangkut paut dengan suatu cara penerimaan cara-cara baru atau suatu perbaikan dalam cara suatu masyarakat memenuhi keperluannya.

Perspektif Historis Materialisme

Teori historis materialisme diasaskan oleh Marx dan Engel. Pada dasarnya teori ini menyoroti perubahan produksi sehingga melahirkan perubahan pada pelbagai aspek. Sumber perubahan kebudayaan (tentu saja perubahan sosial termasuk di dalamnya) disebabkan oleh faktor material, iaitu teknologi. Perspektif materialistis bertumpu pada pemikiran Marx yang menyatakan bahwa kekuatan produksi berperan penting dalam membentuk masyarakat dan perubahan sosial. Marx memberikan penjelasan bahwa pada masa teknologi masih terbatas pada kincir angin memberikan bentuk tatanan masyarakat yang feudal, sedangkan ketika mesin uap telah ditemukan tatanan masyarakat menjadi bercirikan industrial kapitalis. Perspektif ini melihat bahawa bentuk pembahagian kelas-kelas ekonomi merupakan dasar anatomi suatu masyarakat.
Penjelasan Marx tentang kelas dalam masyarakat yang telah menganut idea produksi kapitalis bertumpu pada konflik kelas sebagai akibat eksploitasi kelas bawah oleh kelas atas. Penjelasan ini didasarkan atas pengamatan empiris pada negara-negara eropa sampai dengan tahun 1845. Marx menggunakan perspektif historis materialisme sebagai sebuah hipotesis kerja untuk menjelaskan peran antara ekonomi dengan masyarakat. Historis materialisme digunakan sebagai sarana untuk mempelajari moda produksi kapitalis yang telah menggejala di negara-negara Eropah. Pengamatan sejarah perkembangan negara-negara Eropah terutama Jerman melahirkan dugaan bahwa semua perkembangan sejarah tersebut diwarnai oleh adanya konflik kelas. Analisis sistem ekonomi terhadap moda produksi kapitalis menghasilkan teori kemunculan dan perkembangan formasi masyarakat.
Teori historis materialis tentang perkembangan masyarakat bertujuan untuk menjelaskan proses sosialisasi pada masyarakat. Manfaat utama teori ini adalah untuk menjelaskan peranan aspek kesejarahan masa lalu terhadap kondisi masyarakat hari ini. Konsep dasar teori ini adalah adanya hubungan antara masyarakat, manusia dan lingkungannya.
Menurut Marx terdapat tiga tema menarik ketika kita hendak mempelajari perubahan sosial, iaitu :
Perubahan sosial menekankan pada kondisi materialis yang berpusat pada perubahan cara atau teknik produksi material sebagai sumber perubahan sosial budaya.
Perubahan sosial utama adalah kondisi material dan cara produksi dan hubungan sosial serta norma-norma kepemilikan.
Manusia menciptakan sejarah materialnya sendiri, selama ini mereka berjuang menghadapi lingkungan materialnya dan terlibat dalam hubungan-hubungan sosial yang terbatas dalam proses pembentukannya. Kemampuan manusia untuk membentuk sejarahnya sendiri dibatasi oleh keadaan lingkungan material dan sosial yang telah ada.
Dalam konsepsi Marx, perubahan sosial ada pada kondisi historis yang melekat pada perilaku manusia secara luas, tepatnya sejarah kehidupan material manusia. Pada hakikatnya perubahan sosial dapat diterangkan dari sejumlah hubungan sosial yang berasal dari pemilikan modal atau material. Dengan demikian, perubahan sosial hanya mungkin terjadi karena konflik kepentingan material atau hal yang bersifat material. Konflik sosial dan perubahan sosial menjadi satu pengertian yang setara karena perubahan sosial berasal dari adanya konflik kepentingan material tersebut.
Perubahan dalam pandangan Marx bersifat otodinamis, terus-menerus dan berasal dari dalam. Perubahan didorong oleh kontradiksi endemik, penindasan dan ketegangan dalam struktur. Perubahan terjadi pada tiga tempat, yaitu :
Kontradiksi antara masyarakat dan lingkungan.
Kontradiksi antara tingkat teknologi yang dicapai dab organisasi sosial proses produksi yang tersedia.

Kontradiksi antara moda produksi dan sistem politik tradisional.

Sejalan dengan pandangan dinamis Marx, model kesatuan sosial (sistem sosial) dibangun dalam gerakan sosial internal yang konstan yaitu perubahan yang digerakkan oleh kekuatan dari dalam sistem sosial itu sendiri. Marx melihat bahwa proses ini akan berlanjut hingga menuju pada suatu keadaan yang sempurna. Pada kondisi tertentu, kekuatan material pada masyarakat akan mengalami konflik dengan hubungan produksi yang ada. Marx melihat pada moda produksi kapitalis bersifat labil dan pada akhirnya akan hilang. Hal ini disebabkan pola hubungan antara kaum kapitalis modal dan kaum buruh bercirikan pertentangan akibat eksploitasi besar-besaran oleh kaum kapitalis. Kaum buruh merupakan kaum proletar yang kesemuanya telah menjadi “korban” eksploitasi kaum borjuis. Marx meramalkan akan terjadi suatu keadaan dimana terjadi kesadaran kelas di kalangan kaum proletar. Kesadaran kelas ini membawa dampak pada adanya kemauan untuk melakukan perjuangan kelas untuk melepaskan diri dari eksploitasi, perjuangan ini dilakukan melalui revolusi.

Perspektif tentang Individu dalam Perubahan Sosial

Perspektif individual menjadi sebuah alternatif untuk menjelaskan perubahan sosial. Menurut perspektif historisme, masyarakat sebagai kesatuan holistik yang bersifat menentukan sifat dan keteraturannya sendiri yang tidak dapat direduksi. Individu dipandang pasif dan cenderung tergantung pada sistem sosialnya. Sebaliknya, perspektif individual memberikan ruang yang sangat dominan terhadap individu. Pusat perhatian bergeser ke agen dan tindakannya, yaitu perilaku signifikan yang ditujukan terhadap orang lain untuk mendapatkan tanggapan. Untuk memahami tindakan sosial maka kita harus memahami terlebih dahulu tindakan individu. Tindakan individu sendiri merupakan sebuah kompleksitas antara motivasi psikologis, nilai budaya, norma dan hukum yang membentuk tindakan. Dengan demikian, faktor utama yang menjelaskan perubahan sosial adalah pada alam ide. Berbeda dengan kubu materialis yang memandang bahwa faktor budaya material yang menyebabkan perubahan sosial, perspektif idealis melihat bahwa perubahan sosial disebabkan oleh faktor non material. Faktor non material ini antara lain ide, nilai dan ideologi. Ide merujuk pada pengetahuan dan kepercayaan, nilai merupakan anggapan terhadap sesuatu yang pantas atau tidak pantas, sedangkan ideologi berarti serangkaian kepercayaan dan nilai yang digunakan untuk membenarkan atau melegitimasi bentuk tindakan masyarakat.
Salah satu pemikir dalam kubu idealis adalah Weber. Weber memiliki pendapat yang berbeda dengan Marx. Perkembangan industrial kapitalis tidak dapat dipahami hanya dengan membahas faktor penyebab yang bersifat material dan teknik. Namun demikian Weber juga tidak menyangkal pengaruh kedua faktor tersebut. Pemikiran Weber yang dapat berpengaruh pada teori perubahan sosial adalah dari bentuk rasionalisme yang dimiliki. Dalam kehidupan masyarakat barat model rasionalisme akan mewarnai semua aspek kehidupan. Menurut Webar, rasionalitas memiliki empat macam model, yaitu :
Rasionalitas tradisional.
Rasionalitas yang berorientasi nilai.
Rasionalitas afektif.

Rasionalitas instrumental.

Weber melihat bahawa pada wilayah Eropah yang mempunyai perkembangan industrial kapital pesat adalah wilayah yang mempunyai penganut protestan. Bagi Weber, ini bukan suatu kebetulan semata. Nilai-nilai protestan menghasilkan etik budaya yang menunjang perkembangan industrial kapitalis. Protestan Calvinis merupakan dasar pemikiran etika protestan yang menganjurkan manusia untuk bekerja keras, hidup hemat dan menabung. Pada kondisi material yang hampir sama, industrial kapital ternyata tidak berkembang di wilayah dengan mayoritas Katholik, yang tentu saja tidak mempunyai etika protestan.

Perubahan Kebudayaan Masyarakat Indonesia

Catatan perjalanan pembangunan di Indonesia telah banyak diulas oleh para peneliti. Salah satunya hasil penelitian Soemardjan dan Breazeale. Penelitian yang mengulas tentang perubahan budaya pada masyarakat pedesaan Indonesia sebagai akibat kebijakan pembangunan peedesaan yang diambil oleh pemerintah orde baru. Kebijakan pembangunan perdesaan yang dilakukan oleh pemerintah diwijudkan dengan modernisasi, sebuah pendekatan pembangunan yang lazim dilakukan oleh negara berkembang. Fokus telaah dalam penelitian ini adalah beberapa program pembangunan perdesaan, antara lain; listik masuk desa, informasi masuk desa, pemberantasan buta huruf, PKK, KB, KUD dan intensifikasi pertanian (BIMAS).
Pembangunan perdesaan dengan perspektif modernisasi berasumsi pada dua kutub yang saling berbeda, yaitu pemerintah dalam posisi superior (pusat) dan masyarakat perdesaan sebagai posisi inferior (periferi). Perubahan selalu berasal dari pemerintah yang “menganggap dirinya lebih maju” dibandingkan masyarakat perdesaan. Budaya tradisional dianggap sebagai salah satu penghambat sehingga perlu digantikan oleh budaya modern yang lebih produktif. Orientasi utama pembangunan perdesaan adalah pada peningkatan taraf ekonomi masyarakat perdesaan yang pada akhirnya akan meningkatkan pula taraf ekonomi bangsa. Perubahan mendasar yang terjadi adalah semakin terkikisnya budaya tradisional oleh budaya modern. Masyarakat tradisional pada dasarnya sudah memiliki “pola pengaturan” kehidupan sosialnya sejak lama namun semuanya harus mengalami transformasi menuju “pola pengaturan” baru yang oleh pemerintah dianggap lebih baik (”modern”).
Pemikir fungsionalis menegaskan bahwa perubahan diawali oleh tekanan-tekanan kemudian terjadi integrasi dan berakhir pada titik keseimbangan yang selalu berlangsung tidak sempurna. Artinya teori ini melihat adanya ketidakseimbangan yang abadi yang akan berlangsung seperti sebuah siklus untuk mewujudkan keseimbangan baru. Variabel yang menjadi perhatian teori ini adalah struktur sosial serta berbagai dinamikanya. Penyebab perubahan dapat berasal dari dalam maupun dari luar sistem sosial. Perubahan kebudayaan ini dapat terjadi karena adanya faktor pendorong yaitu pemerintah. Pemerintah telah menjadi pihak yang memberikan introduksi dari luar sistem sebuah perubahan melalui pogram pembangunan perdesaan.
Polarisasi antara pemerintah dan masyarakat perdesaan menyebabkan kesulitan dalam pelaksanaan program pembangunan. Senjang kebudayaan yang terjadi perlu dijembatani oleh “broker budaya”, yaitu pihak yang menjadi perantara antara “budaya modern” dan “budaya tradisional. Peran elit desa sangat dominan dalam keberhasilan program pembangunan perdesaan ini. Mereka umunya menjadi corong pemerintah. program pembangunan perdesaan bersifat top down dan berjenjang dari pemerintah pusat hingga tingkat desa.
Di dalam kelompok sendiri pada dasarnya telah terbangun sebuah kebiasaan-kebiasaan dan norma-norma. Perubahan mungkin saja tidak terjadi apabila terdapat penolakan-penolakan dari dalam kelompok. Proses perubahan membawa kelompok pada keseimbangan baru. Perubahan terjadi apabila driving forces lebih kuat dibandingkan resistences. Pada tahap ini seringkali terjadi konflik dan “polarisasi” di dalam kelompok. Kelompok mayoritas akan berusaha menekan kelompok minoritas. Seringkali kebiasaan-kebiasaan yang terjadi di dalam kelompok didasarkan pada relasi antara individu dan standar perilaku di dalam kelompok. Beberapa individu mungkin memiliki perilaku yang berbeda dengan standar perilaku di dalam kelompok. Apabila individu tetap mempertahankan perbedaan tersebut maka individu akan dikucilkan oleh kelompok dan bahkan akan “dikeluarkan” dari kelompok. Oleh karenanya seringkali individu harus berusaha untuk melakukan usaha konformis untuk menyesuaikan dengan standar kelompoknya.
Peran pemerintah sebagai sumber perubahan tidak dapat berjalan dengan sendirinya. Salah satu faktor pendorong yang tidak dapat diabaikan adalah teknologi. Perkembangan teknologi modern memberikan andil yang sangat besar dalam membawa perubahan pada masyarakat perdesaan. BIMAS dapat berjalan dengan sukses karena adanya inovasi teknologi di bidang pertanian. Demikian pula dengan program pembangunan perdesaan lainnya. Perkembangan teknologi kesehatan, transportasi dan komunikasi turut memberi warna dalam “keberhasilan” perubahan kebudayaan masyarakat perdesaan.



Aspek
Peranan
Teknologi
Sebagai pendorong perubahan, bahkan perspektif materialis memandang teknologi sebagai sumber perubahan. Teknologi dapat menyebabkan perubahan sosial melalui tiga cara yang berbeda, yaitu :
1. Teknologi baru mampu meningkatkan berbagai kemungkinan-kemungkinan dalam masyarakat. Suatu hal yang tidak mungkin dilakukan pada masa lalu akan menjadi mungkin dengan bantuan teknologi.
2. Teknologi baru merubah pola interaksi dalam masyarakat.
3. Teknologi baru menyebabkan terjadinya berbagai permasalahan hidup baru bagi masyarakat.
Selain sebagai sumber perubahan, pada penelitian Soemardjan dan Breazeale tampak bahwa teknologi dapat berperan sebagai faktor pembawa ide atau budaya baru (”modern”) kepada masyarakat tradisional. Salah satu contohnya adalah teknologi komunikasi dan informasi. Masuknya televisi mampu membawa pesan (ide) modernisasi dari pemerintah kepada masyarakat perdesaan.
Ideologi dan nilai
Sebagai pendorong perubahan, perspektif idealis memandangnya sebagai sumber perubahan. Ideologi mampu menyebabkan perubahan paling tidak melalui tiga cara yang berbeda, yaitu :
1. Ideologi dapat melegitimasi keinginan untuk melakukan perubahan.
2. Ideologi mampu menjadi dasar solidaritas sosial yang dibutuhkan untuk melakukan perubahan.
3. Ideologi dapat menyebabkan perubahan melalui menyoroti perbedaan dan permasalahan yang ada pada masyarakat.
Tahap pembangunan perdesaan yang dijalankan oleh pemerintah diawali dengan introduksi ideologi. Peran pemerintah desa menjadi sangat dominan dalam merubah ideologi tradisional menjadi ideologi modern. Modernisasi sendiri dapat diartikan sebagai turunan perspektif idealis, yang memandang pembangunan ekonomi perlu diawali dengan perubahan budaya tradisional menuju budaya modern.



Daftar Bacaan

Davis, Kingsley. 1960. Human Society. The Macmillan Company. New York.
Salim, Agus. 2002. Perubahan Sosial. Tiara Wacana. Yogyakarta.
Soekanto, Soerjono. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Rajawali Pers. Jakarta
Soemardjan, S dan Breazeale, K. 1993. Cultural Change in Rural Indonesia; Impact of Village Development. UNS-YISS-East West Center. Honolulu.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan